Impian Cahaya Kelabu
Aku
masih termenung di hadapan kaca siluet yang tak ada bosannya melihat tampangku
yang tak sempurna, dalam diam hati ku bekecamuk ingin kembali ke tempat itu,
tempat yang selalu dirindukan, tempat yang menjadi rumah kedua dari kediaman
nyata, tempat tak begitu luas layaknya istana, namun tempat itu istana di surga
kelak, yaitu pondok pesantren.
Aku
ingin menemui burung hantu yang selalu datang sesudah isya, dia mengabsen
segala kegiatan yang ku kerjakan, dia juga sebagai pengingat disaat aku lupa
sedikit saja.
Aku
merindukan guruku yang sering ku sebut ‘ustadzah’ yang selalu hadir dan sedia
saat kami butuh ilmunya. Namun semua berakhir saat itu terjadi, aku sangat
trauma dengan semua adegan itu, namun itu takdir.
***
Setahun lalu...
“Hafshah,
kamu antrian ke berapa?” Icha menghampiriku dengan nafas berat, tangannya
menekan dada yang terus kembang kempis sehabis lari tadi.
“Antri
apa?” balasku dengan alis terangkat.
Icha
menepuk bahuku setelah beberapa teguk air ia minum dari botol entah siapa
pemiliknya pun yang ada.
“Antri
mandi lah!” lanjutnya dengan nada kesal.
“Oh,
biasa aku ketiga! Sehabis aku, masih panjang lagi, kamu telat!” aku terkekeh
kecil sembari merebut botol yang di genggamnya “Tukang goshob!” lanjutku lalu
ikut meminum isi botol itu, kami pun tertawa.
“Aku
hanya bertanya, aku antrian kesatu kok di kamar mandi fathayat!” ucapnya lalu
pergi meninggalkanku dengan dengusan centilnya, aku hanya menggeleng dan pergi
mengisi botol itu, jangan sampai pemilik menerima dengan hasil kosong secara
tiba-tiba. Tak hanya Icha yang suka goshob, hampir semua santriah termasuk aku,
hanya saja aku mengisinya karena itu milik kakak kelas!
Sorenya
aku tentu tengah mengantre mandi, beruntungnya aku sedang datang bulan jadi aku
bisa mendapat antrian kedua, kalau tidak, bisa saja antrianku mundur ke urutan
enam.
Tak
lama giliranku tiba, lalu aku pun masuk tepat saat salat di masjid selesai, itu
artinya orang yang mengantre di urutan ini mundur menjadi urutan ketiga.
“Hafshah!!”
sekali lagi aku terkekeh mendengar teriakan pemilik botol tadi.
Seperti
biasa pukul empat tak ada kegiatan, aku pergi ke atap gedung dengan membawa
Al-Quran dan pena untuk menjadi peganganku. Aku pikir tanpa pena, tak ada
genggaman hidup bagiku.
“Dasar
lebay” begitu kata teman-teman sekamarku. Ah,
aku tak peduli banyak orang berkomentar tentang diriku ataupun kebiasaanku, toh semua orang memiliki kekurangan dan
kelebihan.
Waktu
berlalu sangat cepat, adzan isya menggetarkan jiwaku, matahari sudah lebih
sejam lalu beristirahat dan pergi ke negeri lain. apa burung hantu itu akan muncul atau tidak? Tanyaku berbisik dalam
hati.
Sayup-sayup
suara jangkrik mulai bersenandung sesuka mereka, namun tak turun hujan, aku pun
bergegas pergi ke UKS pondok, memang tak ada orang namun dengan adanya burung
itu aku tak merasa takut sama sekali.
“Beri
aku petunjuk” ucapku dalam keheningan, diluar lumayan banyak orang jadi pula
rasa takutku tak sebesar awal kemari.
“Petunjuk
hanya milik Allah” burung itu muncul di atas meja dokter, bulunya yang putih
bersih serta mata hitam pekat membuatku tak ingin lepas pula darinya. Burung itu
betina, namun cara dia berpikir sangat logis seperti halnya jantan.
Aku
tersenyum kepadanya dan melangkah lebih dekat, sudah beberapa minggu aku
berbicara dengan burung hantu ini, memang pada awalnya aku sangat ketakutan
sampai aku terkena demam selama lima hari, namun aku penasaran dan ingin tahu
kenapa burung ini bisa berbicara, tapi aku tak tahu alasannya hingga kini.
“Bergaulah
dengan orang-orang yang baik, niscaya kau pun akan menjadi baik. Tapi jika
sebaliknya, kau pun akan seperti itu. Begitu kata pepatah” burung itu berpindah
tempat. Aku terus mendengarkan ceritanya, begitu juga dia, sangat menyenangkan
bersama burung hantu ini, layaknya seorang manusia!
“Sudah
bel, aku harus kembali ke kamar. Syukron
Lisa, assalamualaikum!”
Seperti
biasa aku langsung menutup pintu UKS yang tadi menyala otomatis menjadi gelap
saat aku keluar. Lisa namanya, siapa atau apa sebenarnya burung hantu itu?
***
“Icha!
Bangun sebentar lagi adzan!”
Tanganku
sedari tadi menggoyangkan tubuhnya dengan segala cara, namun jika pemalas sudah
nyenyak sangat susah untuk dibangunkan!
Kuambil
air dari botol miliknya, jemariku sudah ‘gatal’ ingin melakukan hal ini sejak
lama.
“Hafshah!!”
“Bangun
pemalas!!”
Teman-teman
sekamar menertawai aksi yang baru saja terjadi, betapa konyol ekspresi wajah
Icha saat kuciprati air.
Dari
pada aku harus mengantre mandi, kutinggalkan saja dia yang masih tergeletak,
seperti manusia tanpa tulang!
Allahumma shalli alaa
muhammad
Yaa rabbi shalli alaihi
wa sallim
Alunan
selawat itu selalu terngiang setiap sehabis adzan subuh berkumandang, padahal
tak ada yang berselawat di sini, toa masjid pun tak mengeluarkan suara apa pun.
Dan itu hanya terjadi padaku.
“Ya
Allah, firasatku berguncang.”
Tiba-tiba
saja aku mengatakan itu, sudah tiga kali terjadi sejak berkenalan dengan burung
hantu itu.
Mataku
terasa berat, karena ini hari libur ku sengajakan saja tubuhku berbaring dengan
mata tertutup, alias tidur!
***
Ruangan itu sangat
terang. Tidak hening, tidak ramai. Tidak sempit, tidak luas.
“Kullu nafsin dzaa
iqotul mauut..”
Aku mendengar ayat itu
di ruangan ini, aku mulai ketakutan, siapa yang meninggal?
“Innallaha maas
shaabiriin”
Satu ayat bersautan
dengan ayat tadi, berpaut menjadi satu dalam angin-angin yang tak tampak. Aku tak
paham maksud ini semua, aku pun tak tahu dimana aku sekarang, ini bukan rumah,
bukan kamarku di pondok, dimana aku? Suara itu terus berbisik, sesekali
menggema, ruangan yang terang tak tahu kenapa perlahan meredup.
***
“Hafshah!
Ada tamu!” suara itu berdenging panjang, membangunkanku tanpa sadar. Ternyata ustadzah
Lena pengasuh kamarku. Aku mengusap wajahku yang pasti terlihat kusut, aku
tertidur saat pelajaran tadi. Ah,
dasar Hafshah.
“Huu!
Hafshah tukang tidur di kelas!”
Temanku
bersorak dan tertawa, sampai seisi kelas pun mengikutinya, aku hanya tersenyum
malu dengan diriku sendiri.
“Ah,
kalian juga sama saja. Santriah sukanya memang tidur teruuuss..” sahut ustadzah
Lena yang membuat diriku merasa dibela oleh beliau, padahal aku sendiri
sebenarnya termasuk dari kata-kata itu.
Kakiku
melangkah menuju pintu, siap untuk menerima siapa pun tamu yang ingin bertemu
denganku. Dari jauh terdengar mereka bersorak lagi,
“Jangan
lama-lama!” “Jangan lupa jajanannya!” “Salam buat abangmu ya!” dan lain lagi
aku tak tahu.
Saat
menerima tamu di jam masuk kelas itu memang kesempatan terbaik bagi santriah
untuk santai, tak perlu capek duduk mendengarkan apa yang di terangkan, belum
lagi harus menyimak, terutama ngantuk dan tak sabar menunggu bel istirahat dan
pulang, intinya kesempatan untuk tidak memikirkan sesuatu hal penting yang
membuat kepala terasa pusing! Sesudahnya kita hanya perlu meminjam buku milik
teman untuk kita menyalin materi dan menyuruhnya menjelaskan ulang, itu pun
harus ke santriah rajin. Tapi tidak, aku tidak seperti itu.
“Kamu
tahu siapa tamu mu?” ustadzah Lena tersenyum geli melihatku, namun aku tak
menghiraukan tingkahnya, ku balas senyum kembali.
“Abi
dan Umi kan?”
“Bukan”
sahutnya cepat, suaranya hampir mengeluarkan tawa kecil, masih tak ku hiraukan.
“Loh,
terus siapa?”
Ustadzah
hanya diam lalu beliau menyuruhkku masuk ke ruang administrasi pondok yang
terdapat di pojok lorong kelas SMA. Aku terkejut.
“Ustadzah,
ini kan tempat para ustadz!”
Ustadzah
lagi-lagi hanya diam dan mendorongku perlahan masuk, untung saja hanya ada
ustadz Zakki, dan Abangku. Ditariknya tanganku untuk duduk di sampingnya dan
langsung mencengkram pelan pundakku, namun perlahan menjadi sangat erat. Aku terengah
sedikit, Abang tak pernah berlaku begini, namun kulihat bibirnya mengulas
senyum tipis.
“Kamu
sudah besar, dewasa dan mandiri, Abang yakin itu. Abang harus jujur ke kamu Haf”
Aku
membalas anggukan singkat dengan jantungku yang beradu berdetak kencang dan
keras, tubuhku pun mulai menggigil.
“Abang
dapat beasiswa hafal Al-Quran ke Mesir, Abang harus kesana. Tapi Abang tak ada
biaya untuk mengajakmu, Abang ingin membahagiakan Umi dan Abi, dan...” Abang
menunduk menghadap lantai, aku tak peduli dengan ustadz Zakki yang sedari tadi
pula menunduk duduk di samping Abang.
“Abang
mau kamu menikah dengan Zakki”
“Apa?
Yang berhak mengatakan itu adalah Abi, Bang!”
Mulutku
lekas membalas dengan lemas namun keras, Abang kembali terdiam, aku kembali
banyak bertanya, kali ini diriku penuh keheranan dan ketakutan, Abang terus
diam sampai akhirnya menghela nafas.
“Abi
dan Umi sudah bersama Allah, Haf.”
***
Aku
rasa Allah menutup otakku untuk mengingat apa yang telah terjadi, begitu pula
aku yang tak ingin mengingatnya, ini terlalu cepat.
Aku
tengah berjalan di taman pondok, kurasa aku melamun, entahlah. Aku harus pulang
secepatnya, mimpi tentang ruangan terang itu terus terbayang olehku, sebuah
petunjuk. Tak heran aku tak menangis, karena itu sebuah kenyataan. Aku tak
pernah menangisi kenyataan, namun jika ada kebohongan menghampiriku, tentu saja
air mataku jatuh deras.
Aku
merasa panas perih di pipiku, namun aku tak berteriak atau pun mengeluarkan suara
sedikit pun. Yang aku tahu tubuhku telah di rangkul oleh Abang dengan suara
paniknya.
“Hafshah!”
Aku
merasa Abang menutupi wajahku dengan sapu tangannya, lalu mengajakku pulang
bersamanya, samar-samar terdengar suara para santriah memanggil namaku di
sertai kata-kata penyesalan, semua terbayang samar, namun sangat jelas di
jiwaku.
Bangunnya
aku tergeletak di sebuah kasur minimalis berwarna biru muda, hal kedua yang
kulihat adalah ustadz Zakki tengah duduk di samping kasurku dengan peci hitam
dan sebuah Al-Quran kecil di tangannya. Dia terkejut melihatku, lantas
memanggil dokter dan disinilah aku menikah dengannya, karena esok pagi Abang
sudah harus pergi ke Mesir.
Allahumma shalli ala
muhammadin
Fii bil quluubi wa
dawaa ihaa
Wa aafiatin abdani wa
syifaa ihaa
Wa nuril abshari wa
diya ihaa, wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallim.
Mereka
serempak berselawat untukku, lalu aku menyalimi ustadz Zakki dan Abangku dengan
wajah yang berselaput kain kasa.
Banyak
yang datang menjengukku, termasuk Icha yang katanya menjadi pelaku, tapi aku
tak menghiraukan itu, dia sudah kumaafkan, siapa saja yang melakukan itu aku
maafkan.
***
Lepas setahun...
Tak
ada antri, tak ada goshob, tak ada tamu saat pelajaran. Tahun lalu sangat
kuingat dalam jiwaku, saat menjadi santriah teladan menurut para ustadz
ustadzah, kali ini aku pun tahu siapa burung hantu itu, ia ustadz Zakki. Dia mengubah
suaranya menggunakan sebuah alat menjadi serupa dengan wanita, dan burung itu
miliknya, kali ini tergantung di halaman rumah.
Tahun
lalu, hanya tinggal hitung bulan aku lulus dari sekolah, namun jalanku ternyata
berbelok oleh Allah. Wajahku masih dipandang oleh kaca siluet yang mulai
menyilau oleh matahari sore, yang dulu sering memandang Umi tiap pagi dan sore
sembari Umi membaca Al-Matsurat milik Abi. Kali ini giliranku mengikuti
kebiasannya, namun rasa menjadi santriah tetap menempel di dalam diriku.
“Assalamualaikum, Haf?”
Ustadz
Zakki menyahut dengan lembutnya, aku tak menyangka bisa menjadi istri seorang
ustadz, sedangkan umurku masih belia, suatu kebiasaan seorang santriah pula,
menikah dini.
Aku
berdiri menyambutnya, dia tetap tersenyum melihat rupaku yang terkena asam
sulfat dulu, aku cukup bahagia bersamanya, sering pula dia mengajariku banyak
kitab yang belum kupelajari, aku merasa beruntung dan bersyukur, tak ada satu
pun rasa kesal, hanya saja rasa kecewa yang membuatku tak bisa tinggal sekamar
bersama teman-teman pondok.
Sampai
sekarang kebiasaanku di pondok masih terbawa di rumah, dan aku pun masih
memanggilnya ‘ustadz’, aku pula masih belum berani bercanda dengannya,
mengingat dia adalah burung hantu itu aku merasa malu atas semua cerita yang ku
beritahu padanya.
Dasar
santriah.
Komentar
Posting Komentar